Sejarah Angklung
Sejarah
Angklung berasal dari bahasa Sunda angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya. Secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap.
Di lingkungan Kerajaan Sunda (abad ke 12 – abad ke16) , Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan), Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda.
Dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai Bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro.
Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng Sutigna tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro. Inovasi inilah yang kemudian membuat Angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat-alat musik Barat, bahkan bisa disajikan dalam bentuk orkestra. Sejak saat itu, Angklung semakin populer, hingga akhirnya PBB, melalui UNESCO, pada November 2010, mengakuinya sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan.
Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.
Comments
Post a Comment